Rabu, 04 Desember 2013

Berkelompok Itu Justru Lebih Melelahkan

              
         
          Ini kehidupan sebagai mahasiswa komunikasi. Namanya aja komunikasi, pasti harus jago berargumen dan tampil confidence di depan banyak orang. Oke, itu tuntutan. Padahal gue gak suka. Tapi karena gua udah mengambil tantangan ini, gua akan belajar mencoba mencintai jurusan ini. Meskipun masih sedikit terluka dengan apa yang gua usahakan dulu demi sesuatu yang akhirnya nihil. Oke itu postingan gua yang lalu. Sekarang gua akan mengobatinya.

        Mungkin saat ini saya lelah. Jurusan ini sering banget tugasnya berkelompok. Sesuatu yang “damn” banget buat gue. Mungkin karena latar belakang gue kurang bersosialisasi atau karena belum siap. Jadi menemukan ketenangan adalah dengan sendiri, bukan bersama- sama.

          Nyatanya menjalin hubungan antar manusia emang bikin repot. Itulah sebabnya gua gak suka tugas kelompok. Entah kenapa kalo tugas individu lebih cepat terselesaikan dibanding dengan tugas kelompok. Banyak orang, secara teori memang membuat suatu pekerjaan lebih mudah dan cepat. Tapi secara praktik nggak semudah itu. Banyak kasus yang bikin gua sadar kalau berkelompok itu memuakkan. Beberapa yang repot sendiri, sedangkan yang lain tinggal terdiam manis. Mungkin gua akan semangat jika semuanya berpartisipasi, tapi gua jarang mengalaminya.

           Semua orang memiliki kemampuan yang berbeda- beda. Kalo mau hasil kelompoknya bagus, semua anggota harus saling memahami. Namun yang sering terjadi adalah menyerahkan pekerjaan kepada satu orang doang. Jadi nasib kelompok hanya bergantung pada orang itu. Kalo ada yang gak beres, dia yang disalahin. Padahal dia udah usaha sebaik mungkin. Sempat gua alamin yang pinter tapi gak kerja, itu ada. Yang cuma setor muka sekali, terus pertemuan- pertemuan selanjutnya gak pernah hadir sampe tugas selesai, itu juga ada. Pokoknya suka sebel sendiri deh!

               Pengen deh sekali- kali jadi anggota yang cuma diem. Ah! Tapi gak bisa!.. mungkin gua bisa gak peduli sama orang- orang yang ada dikelompok. Tapi gua peduli sama nilai- nilai yang akan gua dapet. Ini pertanggungjawaban terhadap orang tua yang sudah berusaha. Masa gue udah dikuliahin, terus kuliahnya gak bener?! Itu amanah.

            Menurut gue tugas- tugas di jurusan komunikasi tuh gak ada yang susah. Laboratorium sehari- hari jurusan ini adalah televisi, Koran, dan radio. Kita bisa berdialog mengenai kasus- kasus terupdate selama perkuliahan berlangsung. Teori- teorinya pun bisa cepat kita pahami karena menyangkut aktivitas sehari- hari.

           Mudah- mudahan semester selanjutnya kuliah di jurusan ini menyenangkan deh. jadi gua nggak nyesel ambil tantangan ini. Pun kalo berkelompok, gua bisa berada disekitar orang- orang yang semangat kerjanya tinggi.

          ngomel lagi kan gue, yah.. gakpp deh. daripada dipendam. Sesuatu yang dipendam akhirnya justru buruk loh. Kayak orang yang memendam cintanya, akhirnya malah disalip sama orang lain.

lah, ngaco gini yah? Mungkin kelelahan gue sudah semakin pecah saat ini?

Senin, 11 November 2013

Celoteh sang pengkotbah







Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari? Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada. Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali.

Angin bertiup ke selatan, lalu berputar ke utara, terus-menerus ia berputar, dan dalam putarannya angin itu kembali. Semua sungai mengalir ke laut, tetapi laut tidak juga menjadi penuh; ke mana sungai mengalir, ke situ sungai mengalir selalu.


Segala sesuatu menjemukan, sehingga tak terkatakan oleh manusia; mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar. Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.

Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari.

 Dan aku melihat bahwa hikmat melebihi kebodohan, seperti terang melebihi kegelapan. Mata orang berhikmat ada di kepalanya, sedangkan orang yang bodoh berjalan dalam kegelapan, tetapi aku tahu juga bahwa nasib yang sama menimpa mereka semua.

Ada lagi yang kulihat di bawah matahari: di tempat pengadilan, di situpun terdapat ketidakadilan, dan di tempat keadilan, di situpun terdapat ketidakadilan.

Lagi aku melihat segala penindasan yang terjadi di bawah matahari, dan lihatlah, air mata orang-orang yang ditindas dan tak ada yang menghibur mereka, karena di fihak orang-orang yang menindas ada kekuasaan. Oleh sebab itu aku menganggap orang-orang mati, yang sudah lama meninggal, lebih bahagia dari pada orang-orang hidup, yang sekarang masih hidup.


Rabu, 30 Oktober 2013

Saya Mulai Lelah



Karena gak tau mau cerita ke siapa, jadi gua luapkan di blog ini.

Tiba- tiba teringat pada masa akhir SMP. Waktu itu keinginan agar bisa masuk SMA jurusan IPA begitu kuat. Alasannya adalah karena gua punya ambisi menjadi seorang arsitek. Arsitek yang fokus pada pembangunan dan perancangan kota.

Melihat kota- kota di Eropa bikin iri, bangunannya tertata rapih, transportasinya lengkap, suasananya nyaman dan humanis. Kontras dengan keadaan kota- kota di negara ini. Itulah kenapa gambar- gambar yang gua buat dominan dengan tema perkotaan. Dengan tekad itu gua berlatih keras. Berusaha mengasah kemampuan berhitung di IPA, mempelajari rumitnya rumus- rumus fisika dan matematika. Karena jurusan arsitektur tidak terlepas dari masalah hitung- hitungan.

Tapi sekarang kenapa gua kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi?.  Dan saat ini gua berada pada titik jenuh. gua masuk jurusan ini atas dasar kepo pada pekerjaan broadcaster dan jurnalis. Nggak nyangka kalo ternyata mata kuliah yang harus diemban, tidak seperti apa yang gua bayangkan.

Sebenernya asik sih, tapi setiap jadi bagian dari civitas ilmu komunikasi gua ngerasa “ini bukan diri gue yang asli”. Taulah di ilmu komunikasi mahasiswanya harus kayak apa. Sementara gua cenderung introvert dan lebih suka dengan  sesuatu yang terencana, detail dan terukur.  Jadi lama- lama gua berasa dipaksa untuk melepas karakter asli diri gua yang ini udah nyaman banget.

Disaat teman- teman gua udah punya target mau kerja dimana, jabatannya apa. Ada yang kepengen banget kerja di Trans TV jadi tim kreatif, reporter atau apalah yang berhubungan dengan TV. Ada yang mau jadi Public Relations. Sementara gua masih bingung mau kerja di kantor apa dan jabatannya apa.  karena cita - cita gua bukan di Ilmu Komunikasi. Peminatan gua di Broadcasting, tapi target gua mau jadi apa belum kebayang. karena gua cuma suka liat orang- orang yang kerja di stasiun TV.

Beda dengan orang yang masuk jurusan karena bingung dia mau pilih apa. Jadi mereka enjoy- enjoy aja, yang penting kuliah. Tapi gua udah punya cita- cita, dan keputusan untuk meraih itu semua adalah wewenang gua. Tapi kenapa dulu gua nggak pilih apa yang gua cita- citakan?, kenapa yang gua ambil malah tantangan?.

Kenapa gua dari dulu gak hidup dengan tanpa cita- cita aja? Hidup dengan cita- cita dan ambisi itu begitu menyesakkan. Sesak kalo kita nggak dapetin apa yang udah kita usahakan.

Kalo tau seperti ini jalannya, kenapa gua dulu maksain masuk ke SMA yang mahal?. Hanya karena SMA itu cuma buka program IPA, tapi sekarang gua kuliah di ilmu sosial. Sia- sia? IYA!! .. belasan juta dikeluarin waktu sekolah, dan sekarang ilmunya gak digunain waktu kuliah.

Gua merasa bersalah jadi anak. Tapi di satu sisi, ketika gua berusaha memantapkan untuk mengambil jurusan yang gua cita- citakan di Univ. swasta (setelah ditolak PTN),  malah gak ada support dari orang- orang terdekat gua.

Jadi akhirnya seperti ini. Hampa, gak ada tujuan, pandangan dan harapan ke kedepan udah gak ada. Mengalir begitu saja.

Kini hanya tersenyum, senang rasanya melihat orang- orang yang bersemangat untuk mewujudkan cita- citanya. Setidaknya harapan dan usaha mereka berada pada jalan yang sama.

Berada disekitar mereka yang sedang bersemangat. berjalan bersama teman- teman Ilmu Komunikasi. Namun harapan gua justru berada pada jalan yang berbeda.



Ah.. andai saja seperti mereka. Rasanya pengen pergi yang jauh, jauh, dan jauh…. 

Selasa, 13 Agustus 2013

Keep calm and proud of it (Kiri dari Lahir)



13 Agustus. Tanggal ini bukan hari ulang tahun saya. Tapi tanggal itu yang selalu saya tunggu setiap tahun. Bukan karena ada orang lain yang spesial, tapi entah mengapa saya lebih senang dan bangga menyambutnya.

tidak ada hal meriah di tanggal tersebut. Karena tidak banyak orang yang tahu. Namun pengharapan dan kekuatan adalah sangat berarti. Berharap agar terciptanya keadilan, meskipun ini mustahil. Kuat untuk selalu menerima kenyataan, walaupun ini pahit. 

Saya sebenarnya tidak ingin sendirian dalam menyambut moment ini. Hanya saja saya tidak bisa merayakan dengan kumpul bersama, karena sulit mencari yang senasib dengan saya, sebab kami memang sedikit. 

Tapi kami mempunyai pengharapan yang sama dalam hidup. Yaitu yang tertindas secara batin, ditolak oleh norma, dan dijajah dengan kenyataan. Ya, itu semua terjadi karena kami minoritas. Kami hanya 10% dari total populasi dunia. Yang membuat kami harus menjalankan kehidupan lebih sulit dibanding kebanyakan orang. mengikuti apa yang mereka lakukan dan inginkan. Walaupun sebenarnya ingin sekali melakukan kebebasan seperti orang- orang yang sudah tercipta menjadi golongan mayoritas. 

Tapi saya harus sadar bahwa ini adalah takdir, mau tidak mau kenyataan memang tetap seperti itu. Yaitu kenyataan yang harus saya terima bahwa kemampuan tangan kanan saya lebih lemah dibanding kemampuan tangan kiri. 

Saya kiri dari lahir, singkat saja kidal. dan tanggal 13 agustus ini adalah hari kidal internasional (International left handers day). Hari itu dibuat bukan untuk mengajak orang melakukan aktivitas dengan tangan kiri, tapi agar orang kidal dihargai dan mendapatkan hak yang sama seperti orang “normal” . Bukan perlakuan diskriminasi seperti yang selama ini terjadi.

Selamat Hari Kidal Sedunia


Oke, mungkin saja kalian menganggapnya hal ini berlebihan. Tapi tahukah kalian sebenarnya seperti apa terlahir sebagai kidal?. 

Biarkan saya menjelaskan dengan singkat…

Jujur saya bangga terlahir sebagai kidal, bukan berarti karena mendengar pujian dari orang- orang yang bilang kalau “orang kidal itu pintar dan hebat loh!”, bagi saya itu cuma basa basi. Tapi saya bangga dapat bertahan untuk tetap menjadi orang kidal walaupun keadaan memaksa saya untuk merubahnya dan sering kali mengalami tekanan, terlebih saat saya masuk dalam dunia pendidikan (sekolah). Sindiran bahkan ancaman pernah saya alami di sekolah. 

Di umur 5 tahun saya masuk TK, saya dilarang memakai tangan kiri untuk menulis, dipaksa untuk menulis dengan tangan kanan. Padahal orang tua membebaskan saya untuk menulis dengan tangan apa saja, mereka sama sekali tidak keberatan kalau anaknya terlahir sebagai kidal. Karena itu bawaan dari keturunan. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa- apa ketika guru menyuruh saya untuk terus menggunakan tangan kanan hanya karena kesopanan itu terletak di tangan kanan.

Masa TK saya lalui dengan tekanan. Setiap hari saya menulis dengan tangan kanan yang membuat saya selalu terlambat mengumpulkan tugas. Disaat teman- teman diperbolehkan untuk pulang, saya belum boleh pulang karena saya belum selesai menulis. Alhasil keluar paling akhir di waktu pulang, bahkan sampai keadaan disekitar sepi.

Saya juga pernah merasakan cubitan di waktu SD dari seorang guru yang baru sadar melihat saya menulis dengan tangan kiri. Bahkan saya diancam dihadapan teman sekelas saya kalau besok menulis dengan tangan kiri lagi akan dihukum. 

“kok kamu nulis pake tangan kiri? Hey! *sambil dicubit*. Jangan pake tangan kotor! Nggak sopan. kalo besok ibu lihat kamu nulis pake tangan kiri lagi di jam pelajaran, ibu hukum! Jangan masuk kelas kalo nggak bisa nulis pake tangan kanan”. Itulah yang dia katakan saat itu, sampe sekarang saya masih ingat betapa malu nya saya dicap sebagai murid yang tidak sopan dihadapan teman- teman. 

Di rumah saya terus berlatih memakai tangan kanan, Tapi hasil tulisan saya selalu jelek, tidak sebagus tulisan tangan kiri. Nggak pernah memuaskan. Tangan kanan saya terasa kaku dan usaha itu tidak pernah berhasil hingga sekarang. 

Jadi dulu, agar saya tidak tertinggal dengan teman- teman, saya berpura- pura menulis dengan tangan kanan jika dilihat oleh guru saja. Dan kembali lancar menulis dengan tangan kiri. Memakai strategi tertentu agar tidak ketahuan. Tapi ini tidak berlaku jika kebagian bangku dipaling depan. 

Memang doktrin yang buruk tentang tangan kiri sangat kuat di kalangan masyarakat, Terlebih masyarakat timur. Sehingga sisi kiri selalu dicap buruk, kotor dan menjijikan, bahkan tangan setan. Maka tidak heran perilaku diskriminasi terhadap orang kidal seperti saya tidak dilarang, karena didukung oleh norma dan agama. 

Agama selalu memerintahkan bahwa sesuatu yang baik harus dikerjakan dengan tangan kanan, seperti makan, bersalaman, memberi. Sehingga posisi kanan adalah kebaikan. Begitu sebaliknya, tangan kiri itu buruk dan menjijikan. 

Saya selalu mendapatkan sindiran bahwa menulis dengan tangan kiri itu tidak boleh. Bahkan itu diucapkan oleh guru agama sewaktu saya sekolah. Padahal jika saya bisa, saya pasti nulis pakai tangan kanan pak!, tapi tangan ini selalu kaku untuk menulis. Memang agama tidak memperkenankan mengerjakan sesuatu dengan tangan kiri, tapi dengan kondisi seperti apa dulu. Dalam hal yang menyangkut ibadah jelas tidak diperbolehkan. 

Apakah ini adil? Saya tidak pernah meminta kepada Tuhan terlahir sebagai kidal, tapi Tuhan yang memberikan. 

Saya sempat iri melihat orang- orang yang leluasa menggunakan tangan kanannya dalam menulis dan beraktivitas. Saya ingin sama seperti mereka, sehingga tidak dibilang aneh, tidak sopan dan tidak tahu aturan disaat mata tertuju kepada saya. Tapi saya yakin pasti ada hikmah mengapa saya kiri dari lahir. 

Namun asal kalian tahu, tidak semua orang kidal itu menulis dengan tangan kiri. Bisa jadi mereka bisa menulis dengan tangan kanan, namun melakukan aktivitas lain dominan dengan tangan kirinya. Bisa jadi ada faktor lain yang menyebabkan ia menulis dengan tangan kanan. Salah jika mengira bahwa orang tersebut kidal dilihat hanya dari cara menulis, karena kidal itu berarti menggunakan tangan kiri sebagai sumber kekuatan dalam beraktivitas, dan menulis hanya satu dari banyak jenis aktivitas. 

Ada suatu hal yang biasa terjadi ketika orang lain melihat saya menulis dengan tangan kiri. Perkataan mereka pasti tidak jauh dari seperti ini:

“kamu kok kidal?”

“terus makan pake tangan apa?”

“kok bisa sih nulisnya pake tangan kiri?”

“nulis tuh di tangan baik, jangan di kiri. Nggak bagus!”

Hingga sekarang hal itu masih akan terjadi, sampe- sampe saya bosan menanggapinya.
Oke, saya bisa makan pake tangan kanan dengan sendok. Kecuali pake sumpit, kalau pake tangan kanan kagok dan bisa menyebalkan kalo makanannya nggak bisa keambil. 

Jadi orang kidal itu sulit, karena dunia dominan dengan orang Right handed. Semua yang tercipta dirancang untuk memudahkan tangan kanan. Seperti gitar, gunting, pisau, alat elektronik, posisi mouse, penomeran di penggaris, sampai bangku kuliah. 

Jadi jika menggunakan sesuatu, saya merasa tidak mahir dan sulit melakukannya. Padahal barang dan alat- alat pekerjaan dicipta untuk memberikan kemudahan bagi pemakainya, tapi tidak bagi saya. 

Saat menulis di bangku kuliah tangan saya harus menggantung, tidak heran kalau sampai terjatuh. Itu karena tumpuan hanya berada di sebelah kanan. Apalagi jika yang saya tulis itu banyak. Terasa pegal dan cepat lelah karena tidak ada tumpuan di sebelah kiri. 

Saya sempat membayangkan, bagaimana kalau kasus – kasus tersebut dibalik? Dan menimpa orang yang bertangan kanan? Atau bisakah kalian sabar merasakannya?

Saya tidak bisa berbuat apa- apa dengan perlakuan seperti itu. Karena pasti tidak ada yang membela. Mau dispesialkan?, emang pantas orang kidal yang katanya tidak sopan dan aneh diberi perlakuan khusus? Lagi pula rugi juga kalau membuatnya, karena jumlahnya sedikit. 

Sesuatu dibuat untuk memudahkan kepentingan mayoritas kan? Jadi kaum minoritas mau tidak mau harus mengikutinya. Jadi mendingan nggak usah ada perhatian kan?! . Mau mencari teman yang sesama kidal pun sulit, jadi saya memilih bungkam. 

Apakah selamanya harus berlangsung seperti ini? Walaupun tidak ada pilihan, tapi jangan khawatir, keadaan seperti ini membuat orang kidal selalu beradaptasi. Menemukan solusi, meniru seperti apa yang dilakukan orang “normal” sehingga tangan kanan terasah agar bisa berfungsi dengan baik. Keadaan ini memaksa orang kidal untuk menjadi Ambidexter, yaitu sebutan untuk orang yang bisa menggunakan tangan kiri dan kanannya dengan baik. 

Seumur hidup saya berada disekeliling mayoritas, diantara puluhan orang tangan kanan dan mampu berbaur dengan mereka. Jadi nggak semestinya saya menuntut hak dan keadilan, karena saya bisa menanggulanginya. 

Kira- kira seperti itulah singkatnya menjadi orang kidal. Ada senang dan dukanya. Terkadang menjadi pusat perhatian karena pujian, terkadang juga karena dianggap berperilaku buruk. Melakukan sesuatu yang sebenarnya mudah, tapi ternyata sulit karena berbeda dari kebanyakan orang. 

Untuk penutup, Saya ingin menyampaikan untuk jangan memandang rendah tangan kiri kalian. Karena tangan kiri sama penting dengan peran tangan kanan. Gini aja, dapatkah kalian memindahkan tuas gigi dengan tangan kanan disaat menyetir mobil? Hal itu pasti sulit. 

Semua itu ada untuk keseimbangan. Begitu juga dengan terhadap orang kidal disekitar kalian, jangan lagi ada anggapan buruk yang memojokan nasibnya dalam kehidupan. Kidal itu pemberian Tuhan, jadi jangan salahkan kami kalau kita berbeda. 

Jangan paksa mereka untuk menjadi seperti yang kalian inginkan. Terutama bagi guru/orang tua kepada anaknya yang kidal. Jika kalian tetap memaksa, maka itu sama artinya kalian menghambat mereka untuk tumbuh menjadi kreatif dan membuatnya takut berekspresi. Bagaimana tidak? Setiap yang dilakukan pasti bayangi rasa takut. Padahal anak kecil butuh dukungan untuk mengembangkan bakatnya. Saya hanya tidak ingin kidal junior mengalami perlakuan yang sama seperti saya. 

Selamat hari kidal sedunia, semoga perlakuan mayoritas kepada yang terlahir sebagai left handed semakin baik dan positif. 

Terima kasih kalian mau menerima kami, mampu memberikan solusi dan dukungan kepada kami untuk bangga terlahir sebagai kidal. 

I may be Left handed, but I’m always right. 
 Keep calm, and proud being Left Handed :)








Jumat, 14 Juni 2013

Ketika di saat itu..



Ketika saya sholat, mengapa saya merasakan ketenangan?
Ketika menatap gereja, mengapa hati saya seperti ingin menangis?

Ketika teringat persatuan, mengapa jiwa ini berteriak Yerusalem?

(Hanya postingan pendek, namun jawabannya tidak kunjung bersinar dari makna yang terdalam)

Rabu, 15 Mei 2013

Heavy Rotation






Nah, Kali ini gua posting video clip lagu Heavy Rotation dari 3 Idol grup. yaitu AKB48 dengan bahasa Jepang, JKT48 berbahasa Indonesia, dan SNH48 dengan bahasa Mandarin. kalau bisa selagi nonton, coba analisis budaya dari ketiga negara tersebut.. dari pakaian, isi video clipnya. pokoknya apapun yang ada di isi video - video ini... >.<

Kita mulai dari asalnya..... yaitu. AKB48!!! 



JKT48



SNH48 




Jika di mix maka jadinya kayak gini, ahahaha kreatif, kreatif!! :




Ketika "Homesick" Menyerang Mahasiswa









           Baru dua minggu di Jogja, Tika sudah nggak tahan pingin balik ke kampung halamannya di Bekasi “kangen mama, papa dan adiknya,” katanya dengan wajah yang memelas. Padahal di tempat kostnya ia tidak sendiri. Tika tinggal bersama Opi, teman SMA ia juga.

            Teman banyak, tempat wisata tersebar di kota ini, saudaranya pun juga ada yang tinggal di Jogja. “tapi suasananya tetap beda dibanding rumah.” Tambahnya. Bahkan kalau malam ia suka update tweet di Twitter untuk meluapkan perasaannya.

            Nah, kalau dilihat dari gejalanya, pasti Tika ini mengidap “penyakit rumah” atau Homesick. Ini adalah sesuatu yang wajar ketika seseorang berada jauh dari rumah dan keluarganya. Bagi beberapa orang, homesick akan hilang dengan sendirinya setelah beberapa waktu. Tapi bagi yang sulit melepasnya karena basic- nya kurang mampu beradaptasi, ini bisa jadi masalah yang cukup mengganggu, misalnya jadi kehilangan semangat.

            Kalau sudah seperti ini, apa kira- kira solusinya?. Sebenarnya jalan keluarnya banyak sekali. Nah ini dia beberapa tips untuk menghilangkan Homesick yang sudah membudaya di kalangan anak rantau:

1.      Tambah kesibukan. Caranya bisa ikut UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) di kampus atau Ikatan Pelajar Daerah. Jogja menyediakan asrama daerah bagi mahasiswa rantauan untuk berkumpul bersama. Dengan ikut itu semua, kamu bakal punya keluarga baru.

2.      Cari teman sebanyak- banyaknya. Kalau bisa cari yang dari luar pulau, atau yang lebih jauh dari kampong halamanmu sendiri. Dengan begitu kamu bisa curhat, saling memotivasi dan tentunya lebih bersyukur karena ada yang lebih “parah” nasibnya dengan yang kamu alami.

3.      Buat kamar kost senyaman mungkin. Contohnya dengan memajang foto keluarga, membawa barang kesukaan, atau hal- hal yang bisa membuat kamu “feels like home” di kota pelajar ini.

4.      Manfaatkan teknologi. Berkat kemajuan teknologi, sekarang nggak hanya bisa telpon atau SMS dengan orang yang kamu rindukan. Sekarang sudah ada Skype yang bisa saling bertatap muka lewat koneksi internet.

5.      Jalan- jalan. Jogja merupakan kota wisata yang tiada matinya. Kunjungilah satu- persatu dengan teman- temanmu, kalau bisa ke kota lain di daerah jawa ini. Lebih asik kalau dibarengi dengan mencicipi kuliner di kota ini.

6.      Tetap positif. Nikmatilah setiap aktivitasmu dengan berpikir positif. Ikutilah alur kehidupan di negeri orang bagaikan air yang mengalir. ini adalah latihan yang menjadikanmu lebih dewasa dan tangguh agar tidak selalu bergantung pada orang tua.

7.      Adaptasi. Semakin cepat kamu bisa beradaptasi dengan lingkungan barumu, semakin cepat bisa lepas dengan homesick. Jangan selalu galau dan melankolis di kota Jogja ini. Jogja punya banyak cerita yang harus kamu tulis melalui rangkaian kehidupanmu sebagai mahasiswa rantau.

            Sekarang sudah nggak ada lagi alasan buat Homesick. dibawa santai saja dan raih impianmu di kota Istimewa ini demi orang- orang yang kamu sayangi dengan kuliah yang rajin sekaligus berharap membawa hasil yang membanggakan. Bukan menambah beban orang tua dengan selalu mengeluh. Lagi pula bukankah ini konsekuensi yang siap kamu hadapi sebagai anak rantau di negeri orang? 

Minggu, 28 April 2013

Goes to UI




Entah ada bisikan dari mana gua bisa senekat mengambil keputusan dengan mudahnya. Waktu itu rencana gua pulang ke rumah Cuma buat kumpul bareng keluarga. Mumpung saat itu ada liburan paskah dan mata kuliah dasar- dasar Jurnalistik di hari senin dosennya gak mau dateng. Jadi gua gak mau menyia- nyiakan kesempatan itu daripada harus membusuk di kosan selama 4 hari.. *Males Gilak*



“Gua tunggu di jalur 3. Keretanya berangkat jam 10:15”

Dari sinilah perjalanan itu dimulai. Gua menunggu kedatangan musuh  yang menghantui kehidupan gua dulu sewaktu di SMA (mungkin sampe sekarang juga, tapi intensitasnya berkurang, hehe) . Namun kini dia berhasil menemukan seonggok kain kuning dari beribu- ribu warna tumpukan almamater yang di obral di SNMPTN 2012. Dan dalam rangka menunjukan kemegahan kampusnya, dia menyanggupi keinginan gua untuk sekedar berkeliling disana.

Rupanya sosok dan arwah itu datang. Tambah gendut? Tambah kurus? Biasa aja ternyata. Dia melangkah semakin dekat sementara gua duduk di peron sambil melihat ramainya penumpang commuter line yang siap capcus. Ironisnya, kereta itulah yang akan gua naikin. Gua sudah membayangkan bakal berdiri sampe stasiun manggarai, padahal kalo gua masuk daritadi mungkin masih banyak tempat duduk yang kosong. Tapi syukurlah masih bisa nyempil dan bisa berdiam. Gak kayak dulu sama babay dan alief yang ketawa cekikikan liat ekspresi emak- emak lagi ngegosip tepat posisinya disebrang.

Stasiun Manggarai
Sampai di Stasiun Manggarai… kita transit disana. Rupanya menunggu waktu lumayan lama Commuter line yang ke Depok.

*Bete*

*Duduk*

*Dengerin musik*

*Ngobrol dan kita sharing pengalaman*

*Menikmati hiruk pikuk stasiun*

Campur aduklah pokoknya. Gak tau harus apalagi yang gua lakuin betapa betenya. rasanya pengen flash mob heavy rotation. Pengennya cepet- cepet nyampe.

Eh begitu keretanya dateng malah penuh! . Shit.  Gua udah bayar mahal- mahal, berdiri, eh terus Cuma kipas angin yang nyala. Apa- apaan nih. Yaudah deh jangan bawel.

Nyampe di Pocin

Kereta yang kami tumpangi sampai di tujuan. Kami memilih turun di stasiun pocin, katanya lebih deket. Temen gua ini mulai deh aura- aura tour guide muncul.


Suasana sedikit dramatis.. Akhirnya bisa menjajakan kaki di UI, setelah 5 tahun gak ziarah kesini. Secara kasat mata permukaan UI sudah banyak yang berubah. Lebih rapih dan modern. Apalagi perpustakaan pusatnya, Kece abis! Arsitekturnya megah dan bersatu dengan alam. Rasanya pengen gua cubit pipi arsiteknya, hmmpfft  *emak- emaknya muncul deh*



Destinasi kita pertama adalah Perpustakaan pusat! Disitu gua foto- foto, ubek- ubek buku, jalan- jalan,  dan diajak mondar- mandir sama dia dari ‘bawah- atas- bawah’.



Ada yang menjadi kegalauan gua saat di perpustakaan. Kaki gua seakan terdiam, tidak dapat bergerak dan seakan ada yang membisik gua ke rak buku yang gua gak tau arahnya. Bagaikan besi yang tertarik oleh magnet.



Saat gua memperhatikan apa yang ada di sekitar, God! Hatipun menjadi sesak. Gua melihat tumpukan buku Arsitektur dan memutuskan duduk diantara tumpukan buku Arsitek. Gua teringat pada masa lalu, dari SMP- SMA menginginkan masuk jurusan Arsitektur dan bertekad belajar,  untuk bisa masuk jurusan IPA. Menggambar kota, gedung, dan pemandangan di waktu luang. Masa remaja gua lalui untuk bermimpi. Barangkali gua berjodoh masuk jurusan itu. ,Karena satu dan lain hal gua gak bisa masuk sana, dengan berat hati gua berusaha lupakan semua jerih payah itu dan melawan arus cita- cita.



Matahari semakin terik. Perut terasa lapar dan waktunya sholat. Dari perpustakaan kita bertolak ke MUI (re: Masjid ukhwah islamiyah) dan setelah itu kita makan di kantin pinggir danau. Menu yang gua pilih saat itu adalah Nasi Uduk+ Ayam+ jus Jambu. Sementara temen gua beli Gado- gado *kalo gak salah dan minuman yang sama dengan gua.


Sudah kenyang kita jalan lagi ke Fakultas Ilmu Budaya dan mengunjungi jembatan Teksas. Di fakultas tersebut gua juga menjadi lebih tegar karena ada sesuatu yang tidak bisa terwujudkan.




Matahari yang semula terik, kini menjadi mendung. Seakan menahan gua lebih lama untuk di UI. Akhirnya, hujan pun tidak dapat dihindarkan hingga sore. Dalam perjalanan menuju stasiun untuk pulang, kita harus berteduh dulu di halte Bikun. Sore yang begitu sejuk dan basah.





Untuk pulangnya gua request untuk naik kereta di Stasiun UI. Karena gua pengen menikmati lebih lama suasana kampus *walaupun sudah ngos- ngosan* dan melintasi Makara, logo Universitas Indonesia  (kata temen gue simbol ini menyimpan mitos dikalangan anak UI).




Dalam perjalanan pulang di kereta. Ada pemandangan yang biasa, namun menjadi luar biasa karena gua melihat langit tersenyum dengan lipstiknya. Pelangi! Yang sangat luas lingkaranya .. dan sampai ditulisnya postingan ini, gua belum melihat pelangi lagi. Spasiba Balshoy buat temen gue yang sedia menemani gue ke kampusnya, Perjalanan yang menjadi bahan cerita terbitnya postingan ini. 

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Powerade Coupons