Minggu, 23 Maret 2014

Ini Alasan Kenapa Saya Tetap Menerapkan GMT+8



Pemberitahuan lewat facebook ketika saya kembali ke zona GMT+8

Sebelumnya saya minta maaf kepada teman atau keluarga yang pernah berkunjung dan tiba- tiba bingung disertai terkejut pas ngeliat jam dinding di kosan sedikit aneh pergerakannya. Apalagi kalo menyangkut masalah sholat. Misalnya udah siap sholat magrib, tapi tiba- tiba udah jam 19:15 aja atau udah yakin banget kalo adzan Ashar masih satu jam lagi, tapi kok ini udah jam 15:00 ?! haha. Tenang…. karena jam itu gak rusak/ baterai nya habis. Tapi emang saya atur lebih cepat satu jam dari WIB. Bukan karena sering telat lho, terus dicepetin satu jam -__- Justru ini udah keputusan saya dari 2 tahun yang lalu, tepatnya pada Mei 2012.

Kalian pernah denger rencana pemerintah RI yang mau menyatukan zona waktu pada 28 Oktober 2012?. Indonesia sekarang ini punya tiga zona waktu, yaitu WIB (Waktu Indonesia Barat), WITA (Waktu Indonesia Tengah), dan WIT (Waktu Indonesia Timur). Nah rencananya pada saat itu mau disatukan jadi satu zona waktu aja, yaitu WKI (Waktu Kesatuan Indonesia) yang memakai GMT+8 atau setara dengan WITA. Jadi yang tinggal di daerah Sumatra, Jawa, Kalbar & Kalteng mengubah waktunya satu jam lebih cepat dari biasanya. Sebaliknya yang di daerah Papua dan Maluku memperlambat waktunya satu jam. Sementara yang di Sulawesi, Bali, Nusa tenggara nggak ada perubahan. Sebenarnya jika melihat kebelakang, Indonesia sudah 9 kali mengubah zona waktu.


Nah isu tersebutlah yang membuat saya awalnya mengatur jam dinding di kamar saya satu jam lebih cepat jadi keterusan hingga sekarang. Bahkan sampai rencana tersebut ditunda, saya masih memakai GMT+8. Disini saya sangat mendukung rencana pemerintah. Karena begitu harmonisnya ketika membayangkan kalau dari Sabang hingga Merauke punya waktu yang sama.

Sebenarnya apa alasan pemerintah menerapkan ini? Mengingat waktu yang berlaku saat ini udah cocok sama pergerakan matahari. Sepeti kita ketahui, Indonesia merupakan negara yang terletak di garis khatulistiwa. Artinya porsi siang dan malam seimbang. kalo matahari terbit jam 06:00, nanti tenggelam jam 18:00, 12 jam terang – 12 jam gelap.

Sebenarnya meski zona waktu udah disatukan, porsi siang dan malam tetap begitu saja. Tapi kebiasaan masyarakat yang menilai kalo pagi (ketika matahari baru muncul) itu sekitar pukul 06:00 dan senja itu ya sekitar pukul 18:00, sehingga pemahaman tersebut sulit diubah. Tapi pemerintah beralasan kalau zona waktu disatukan akan meningkatkan produktivitas.

Maksud produktivitas disini adalah kegiatan ekonomi. Harapannya perekonomian Indonesia akan lebih baik kalau daerah timur sampai barat memiliki kesamaan waktu, kemudian negara- negara yang menjalin kerja sama intens di bidang ekonomi dengan Indonesia mayoritas berzona waktu GMT+8. seperti Tiongkok (dulu biasa kita sebut Cina), Malaysia, Singapura dan Filipina.

Contohnya ketika bursa efek di Singapura dan Tiongkok sudah buka, Indonesia yang kantor bursa efek nya di Jakarta masih harus menunggu satu jam lagi. Kemudian ketika masyarakat Singapura dan Malaysia sudah masuk kerja dan beraktivitas, masyarakat Indonesia terutama di wilayah barat baru bangun tidur.

Padahal dilihat dari letak geografis, Singapura dan Malaysia barat berada dekat dengan Riau dan Sumatra Utara, tapi mereka memakai zona waktu GMT+8 yang setara dengan Bali. Artinya masyarakat Singapura dan Kuala Lumpur memulai aktivitas lebih pagi dari masyarakat Jakarta. Di Singapura jam masuk kantor adalah pukul 07:00, padahal di pulau seberangnya yaitu Batam masih jam 06:00. Bahkan di Kuala Lumpur jam masuk kantor juga jam 07:00 - 08:00. Masih terlalu pagi bagi kita di Jakarta.

Kesenjangan tidak hanya terjadi antar negara saja, tapi juga di Indonesia. Hal ini meliputi komunikasi, penerbangan, transaksi, sampai jam tayang TV nasional. Sebagaimana kita ketahui, pusat RI berada di zona WIB. Contohnya ketika bank di wilayah Papua sudah tutup jam 15:00, bank di Jawa yang masih jam 13:00 justru sedang giat- giatnya bertransaksi. Akibat perbedaan waktu, proses transaksi dan komunikasi antara Jawa dan Papua terbatas.

Kemudian siaran TV nasional yang lebih memperhatikan wilayah barat Indonesia, Semua mengacu pada WIB, sehingga masyarakat di Timur dan Tengah harus menyesuaikan jika ingin menonton TV. Belum lagi ketika kita melakukan penerbangan ke daerah lain di Indonesia, kita harus mengatur ulang jam tangan atau di handphone. Padahal ini masih di Indonesia. Maka tidak heran mengapa daerah timur Indonesia selalu tertinggal. Karena semuanya berpusat di Jakarta.

Jika rencana penyatuan zona waktu dilaksanakan, maka masyarakat Jakarta harus siap bangun lebih pagi lagi!. Karena jam masuk kerja akan disetarakan yaitu pukul 07:00!!. Hal ini mengakibatkan rencana tersebut menuai kontroversi, banyak yang tidak setuju. Karena ini akan memicu kecemburuan masyarakat Indonesia di wilayah barat kepada yang timur.

Bagaimana tidak, pukul 07:00 di wilayah Indonesia paling barat terutama Aceh dan Medan masih gelap dan di Jakarta matahari masih malu–malu untuk muncul. Sementara di papua matahari sudah terik. Umpamanya “situasi di wilayah barat terburu- buru sementara di wilayah timur sangat santai”. Nah jika seperti ini, kondisi berbalik. Biasanya Indonesia timur yang iri kepada daerah barat, kini yang di wilayah barat iri kepada yang tinggal di timur.

Tapi bagaimana pun Indonesia harus bersatu, kini sudah saatnya yang di Jakarta menyesuaikan. Mungkin butuh adaptasi beberapa minggu untuk merubahnya, lama- lama juga akan terbiasa. Jika yang di Singapura dan Kuala Lumpur bisa, kenapa kita yang di Jakarta tidak bisa?. Bahkan banyak negara yang seluas Indonesia hanya memiliki satu zona waktu, yaitu Republik Rakyat Tiongkok, India, dan Brazil. Sehingga slogan “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” akan diperpanjang menjadi “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Satu Zona Waktu”.

Namun hingga tulisan ini dimuat, perubahan zona waktu belum dilaksanakan. Karena pemerintah menilai masih banyak yang penting daripada menyatukan zona waktu. Mungkin karena dipengaruhi oleh mereka yang tidak setuju. Sebab mereka menilai kalau pemerintah hanya memikirkan aspek ekonomi. Padahal menurut saya ini merupakan salah satu upaya agar persatuan Indonesia lebih efektif.

Dibawah ini saya akan membuat jam masuk kerja/ sekolah jika Indonesia memiliki satu zona waktu.

Jam kerja yang berlaku sekarang:

Kegiatan
WIB (GMT+7)
WITA (GMT+8)
WIT (GMT+9)
Masuk Kantor/ Sekolah
07.00/ 08.00
07.00
07.00
Makan Siang + Sholat
12.00 – 13.00
12.00- 13.00
12.00- 13.00
Pulang
15.00 / 16.00
15.00
15.00
Keterangan
Di wilayah ini, jika ingin menghubungi atau bertransaksi dengan wilayah WITA /WIT pada jam 10.00 WIB/11.00 WIB. harus menunggu, karena mereka sedang istirahat.
Ketika wilayah ini selesai istirahat pada pukul 13.00 WITA, di wilayah WIB baru jam 12.00, mau istirahat.
Di wilayah ini aktivitas sudah usai. Tapi di WIB jam 13.00 baru selesai istirahat.

Jam kerja Nasional:

Kegiatan
WKI (GMT+8)
Masuk Kantor/ Sekolah
07.00, 07.30, 08.00
(Karyawan diberi pilihan asal lama jam kerja tetap)
Makan Siang + Sholat
11.30 – 12.30 atau 12.30 - 13.30
(satu tempat kerja memberi karyawan 2 pilihan waktu istirahat, tentunya menyesuaikan waktu sholat setempat)
Pulang
15.00, 15.30, 16.00
(Pulang sesuai pilihan masuk kerja)
Keterangan
Perhitungan jika 8 jam kerja

Inti masalahnya apakah semuanya siap berubah? Kalau saya pribadi sudah siap. Karena begitu rencana penyatuan zona waktu muncul, saya mencoba menyesuaikan. Mulai dari ruang lingkup yang kecil dulu, seperti kamar. sehingga kini saya sudah terbiasa satu jam lebih cepat dengan orang- orang disekitar. Pun kalau berada di Papua/ Maluku saya akan mencoba memperlambat satu jam. Karena saya masih berharap kalau penyatuan zona waktu benar- benar terjadi.


Sabtu, 08 Maret 2014

Menelusuri Jejak Film di Indonesia



Berbicara tentang asal usul perfilman di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh bangsa lain. Sejarah mencatat bahwa daya hidup film tidak pernah bisa berdiri karena senantiasa terkait dengan konteks politik, ekonomi dan daya hidup budaya populer. Munculnya film di Indonesia diawali dari seni pertunjukan rakyat bernama Wayang Wong (wayang orang), Komedi Stambul, ketoprak, ludruk, Sandiwara, hingga modernisasi atas penerapan politik etis di wilayah kolonial Belanda.

Wayang Wong pada awalnya adalah pertunjukan yang hanya di gelar di dalam kompleks kerajaan Mataram Kuno sebagai bentuk ritual yang akhirnya terpecah dan terus dilestarikan oleh Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Kemudian berkembang menjadi hiburan para tamu keraton. Pementasan Wayang ini sangatlah mewah yang membutuhkan banyak uang dan tenaga. Hingga pada masa pemerintahan Sultan HB III, pementasan ini jarang ditampilkan karena keraton mengalami kesulitan finansial.

Disaat keadaan seperti itu, seorang Tionghoa bernama Gan Kam mencari peluang bisnis dengan menjadikan kesenian Wayang Wong sebagai komoditas, ia membujuk raja Solo saat itu untuk mengijinkan pertunjukkan Wayang Wong di luar Keraton. Berkat jasanyalah kesenian tersebut dapat ditonton oleh seluruh elemen masyarakat di kota itu. Berbeda dengan di Yogyakarta, kesenian tersebut dapat dinikmati oleh rakyat atas pengaruh kalangan elit keraton yang mendemokrasikan atau memasyarakatkannya dengan memberi kesempatan untuk mempelajari kesenian itu di sekolah- sekolah.

Pertemuan wayang dengan komedi stambul semakin memeriahkan dunia pertunjukan Hindia Belanda (Indonesia) saat itu. Bedanya, komedi stambul dipentaskan secara berkeliling, dengan durasi yang lebih singkat dan hadir pada waktu senggang masyarakat industri. Komedi stambul berasal dari Surabaya yang dulu dikenal sebagai kota dagang. Digagas oleh seorang peranakan eropa dan biayai oleh seorang Tionghoa yang melibatkan beragam kebudayaan dan ditonton oleh berbagai ras dengan bahasa pengantar adalah Bahasa Melayu.

Pertunjukan seni di Hindia Belanda terus berkembang seiring tuntutan industrialisasi dan dipengaruhi oleh berbagai kebudayaan, dari kesenian tradisional maupun mancanegara. Industrialisasi melahirkan jalur kereta yang membuat kesenian komedi stambul menyebar hingga kota- kota besar Jawa. Hingga datanglah suatu seni pertunjukan ketoprak yang berasal dari Jawa Tengah, Ludruk dari Jawa Timur dan Sandiwara dari Jawa Barat. Ketiga bentuk pertunjukan itu sangat mempengaruhi masa awal produksi film di Hindia Belanda.

pada akhir tahun 1900, masyarakat Hindia Belanda dikejutkan oleh penayangan “Gambar Hidup” yang kini biasa disebut Film. Ditayangkan di bioskop hingga lapangan di kota- kota besar agar dapat mencakup semua elemen masyarakat. Hal ini salah satu bentuk kolonialisasi Belanda yang mengenalkan negaranya melalui film dokumenter. Kemudian diimporlah film- film dari Amerika yang alur ceritanya dinilai lebih menarik dan menantang.

Namun pemerintah Kolonial sempat khawatir atas film Amerika yang justru mampu mengubah pikiran pribumi terhadap orang Eropa saat itu. Terutama terhadap Belanda yang berkuasa. Karena di film Amerika orang Eropa di presentasikan buruk, seperti mafia. Akhirnya dibuatlah film buatan Hindia Belanda yang ceritanya diadopsi oleh film- film Amerika. Pembuatan film tersebut dibiayai oleh pemerintah Belanda. Selain itu menerapkan sensor di semua film impor.
Ancaman mati nya seni tradisional juga sempat mengkhawatirkan, karena beredarnya film- film luar negeri di Hindia Belanda. Pada 1926, lahirlah film loetoeng kasaroeng yang memadukan wayang, sandiwara dan film yang dikemas sedemikian menarik. Film ini berlatar legenda sunda yang sudah terkenal. Hal ini agar masyarakat tidak lupa seni daerahnya.

Kota- kota besar di Hindia Belanda semakin tumbuh menjadi kawasan kosmopolitan. Hal ini terkait atas penerapan hukum agrarian, peningkatan liberalisasi politik dan politik etis yang diterapkan pemerintahan Belanda. Sehingga memacu percepatan pembangunan, termasuk pembangunan fasilitas gedung publik yang mendukung dunia pertunjukan.


Kawasan kompolitan merupakan wadah bagi munculnya imajinasi dalam berkreasi. Seni pertunjukan dan film seringkali dijadikan sebagai jembatan agar kota memiliki cerita yang mampu merangkul aspirasi Hindia Belanda dan mampu menjangkau banyak penonton. Selain itu keutungungan yang diperoleh dari Belanda adalah, melalui seni pertunjukan mereka mampu mengancam orang pribumi agar tidak berani memberontak kepada pemerintah. 

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Powerade Coupons