Muhammad Aulia Rahman, Juni 27, 2011
Andre Vltchek, Juli 26, 2007
Pada saat ini gedung pencakar langit, jalanan macet dipadati oleh ratusan ribu kendaraan, dan mal – mal raksasa telah menjadi pusat kebudayaan Jakarta, yang notabene merupakan kota terbesar ke -4 di dunia. Terjepit diantara gedung tinggi, terhampar perkampungan dimana sebagian penduduk Jakarta tinggal yang tidak memiliki akses sanitasi air bersih.
Disaat hampir semua kota di asia tenggara menginvestasikan dana besar – besaran untuk transportasi public, taman kota, taman bermain, trotoar besar, dan lembaga kebudayaan seperti museum, dan pusat pameran, Jakarta tumbuh secara brutal dengan berpihak hanya pada pemilik modal dan tidak peduli akan nasib mayoritas penduduknya yang miskin.
Meskipun bagi para wisatawan asing Jakarta merupakan NERAKA DUNIA, media massa setempat menggambarkan Jakarta sebagai kota modern, cosmopolitan, dan metropolis. Para wisatawan seringkali terheran –heran dengan kondisi Jakarta yang tidak memiliki kenyamanan terhadap publiknya. Bangkok sebenarnya merupakan kota yang tidak terlalu ramah public, masih memilki beberapa taman yang menawan. Bahkan, Port Moresby, ibukota Papua Nugini yang miskin, terkenal akan taman bermain yang besar dan jalan setapak di pinggir laut yang indah.
Di Jakarta kita perlu biaya untuk segala sesuatu. Bahkan lahan hijau diubah menjadi lapangan golf demi kepentingan orang kaya. Kawasan Monas seluas kurang lebih 1 km persegi bisa jadi merupakan Satu – satunya kawasan public di kota berpenduduk lebih dari 15 juta ini. Meskipun menyandang predikat kota maritim, Jakarta telah terpisah dari laut dengan ancol menjadi satu- satunya lokasi rekreasi yang sebenarnya hanya berupa pantai kotor.
Bahkan kalau mau jalan- jalan ke ancol, satu keluarga dengan 4 orang anggota keluarga harus mengeluarkan uang Rp 60.000 untuk tiket masuk. Suatu hal yang tak masuk akal di belahan dunia. Beberapa taman public kecil perlahan- lahan kondisinya menyedihkan.
Di Jakarta nyaris tidak dijumpai bangku untuk duduk dan rileks di trotoar, tak ada keran air minum gratis atau toilet umum. Ini memang remeh, tapi sangat penting, merupakan suatu detil yang menjadi simbol kehidupan perkotaan di bagian lain dunia.
Sebagian besar kota-kota di dunia ingin dikunjungi dan dikenang akan kebudayaanya. Singapura sedang berupaya mengubah citra kota belanjanya menjadi jantung kesenian asia tenggara. Esplanede Theatre telah mengubah wajah kota singapura yang menawarkan konser music klasik, balet, dan opera internasional kelas 1. Banyak pertunjukan bersubsidi dan seringkali gratis bila dibandingkan dengan pendapatan warga kota yang relative tinggi.
Kuala Lumpur menghabiskan $ 100 juta untuk membangun balai konser philharmonic yang terletak persis dibawah petronas tower. Kuala lumpur juga sedang menginvestasikan beberapa juta dolar untuk memugar museum dan galeri, dari museum nasional hingga galeri seni nasional.
Nah, sekarang kita balik ke jakarta. Siapapun yang pernah berkunjung ke perpustakaan umum atau gedung Arsip Nasional pasti tahu bedanya. Tak heran, dalam pendidikan, budaya dan seni Indonesia tidak dianggap menguntungkan. Sehingga patutlah Indonesia menjadi negara dengan anggaran pendidikan terendah nomor 3 di dunia (menurut The Economist, hanya 1,2% dari PDB) setelah Guyana Khatulistiwa dan Ekuador ( kedua negara tersebut sekarang berkembang pesat berkat pemerintahan baru yang progresif ).
Museum di Jakarta berada dalam kondisi memprihatinkan, sama sekali tidak menawarkan eksibisi Internasional. Museum tersebut terlihat seperti berasal dari zaman baheula dan tak heran kalau Belanda yang membangun semuanya. Kelihatannya manajemen museum tidak punya visi atau kreativitas. Bahkan, meskipun mereka punya visi atau kreativitas, pasti ada kendalanya yaitu ketiadaan dana.
Sepertinya Jakarta tidak punya perencanaan kota, hanya ada pengembang swasta yang tidak punya respek atau kepedulian akan mayoritas penduduk yang miskin. Mayoritas besar tak peduli apa yang dikatakan oleh data statistic yang seringkali dimanipulir pemerintah. Sedangkan beberapa dekade yang lalu Singapura, bahkan baru – baru ini di Kuala Lumpur, berhasil menghilangkan total perkampungan kumuh dari wilayah kota, namun Jakarta tidak mampu atau tidak mau memberikan warganya perumahan bersubsidi dengan harga terjangkau yang dilengkapi dengan sistem pembuangan limbah, taman bermain, dan transportasi massal yang aman.
Selain itu, Kuala Lumpur dengan penduduk hanya 2 juta jiwa memilki satu jalur metro ( putra line), satu monorail, beberapa jalur LRT Star yang efisien, dan jaringan kereta api kecepatan tinggi yang menghubungkan kota dengan ibukota baru Putrajaya (Jakarta dengan > 15 juta jiwa ?? ). Sistem RAPID memiliki ratusan bus modern , bersih ,ber AC yang tarifnya bersubsidi. Tiket abonemen bulanan dan harian yang sangat murah juga tersedia.
Bangkok menunjuk kontraktor Siemens dari Jerman untuk membangun 2 jalur panjang Sky Train dan satu jalur metro. Bangkok juga memanfaatkan sungai dan kanal sebagai transportasi public dan objek wisata. Bus – bus kuno yang berpolusi sudah sepenuhnya dilarang beroperasi di Hanoi, Singapura, Kuala Lumpur, dan Bangkok. JAKARTA ? berkat korupsi dan pejabat pemerintahan yang tak kompeten, Jakarta tenggelam dalam kondisi yang berkebalikan dengan kota – kota tersebut.
Walaupun Jakarta menjadi salah satu ibukota terburuk di dunia, hidup disana tidaklah murah. Menurut survey Mercer Human Resource Consulting 2011. Jakarta menduduki peringkat ke 88 kota termahal di dunia untuk ekspatriat, jauh diatas Riyadh ( peringkat 190 ), Ottawa (110) dan Washington DC ( 103 ). Nah, untuk ekspatriat saja mahal, apalagi buat penduduk lokal yang berpendapatan perkapita dibawah $ 1000 ???
Anehnya, orang Jakarta diam seribu bahasa. Mereka pasrah akan kualitas udara yang JELEK, terbiasa dengan pemandangan pengemis di perempatan jalan, dengan kampung kumuh di bawah jalan layang dan di pinggir sungai yang kotor dan penuh limbah beracun, dengan kemacetan berjam – jam dan banjir.
Kalau saja ada sedikit harapan, kebenaran pasti akan terucap, dan semakin cepat semakin baik. Betapapun pahitnya kebenaran, tetap saja lebih baik ketimbang dusta dan penipuan. Jakarta telah tertinggal jauh dibelakang ibukota lain negara tetangga dalam hal estetika, pemukiman, kebudayaan, transportasi, dan kualitas udara. Sekarang Jakarta telah kehilangan kebanggaan dan mesti belajar dari Singapura, Kualalumpur, Sidney, dan bahkan dalam beberapa hal dari tetangganya yang lebih miskin seperti Port Moresby, Manila, dan Hanoi. Data statistic harus transparan dan tersedia luas. Warga Jakarta harus belajar bertanya dan bagaimana untuk memperoleh jawaban dan akuntabilitas. Andaisaja mereka pahami seberapa dalamnya ibukota mereka telah terperosok, maka barulah ada harapan.
“ kita harus hati – hati”. Kata produser film Malaysia dalam perayaan tahun baru di kualalumpur. “ Malaysia punya banyak masalah. Kalau kita tidak berhati –hati, dalam 10 -20 tahun kualalumpur akan bernasib sama seperti Jakarta.”. Dapatkah pernyataan ini dibalik ? mampukah Jakarta menemukan kekuatan dan solidaritas untuk mobilisasi sehingga dapat menyaingi kualalumpur ? mampukah kecukupan mengatasi keserakahan ? dapatkah korupsi diberantas dan diganti dengan kreatifitas ? Akankah kawasan hijau, perumahan publik, taman bermain, dan perpustakaan berkembang pesat ?